Pengalaman Buruk Berbelanja di Qonnoq Moslemwear

Assalamu’alaikum,

Pada kesempatan kali ini, saya ingin sharing tentang pengalaman buruk saya saat memutuskan untuk berbelanja baju lebaran tahun 2019 ini di toko online shop yang bernama Qonnoq Moslemwear.

Cerita berawal dari keinginan kami yang mencoba untuk mencari baju lebaran online di Instagram. Kenapa kami memutuskan untuk berbelanja di Instagram? Sama seperti alasan orang lain berbelanja online, yaitu pertama karena faktor kemudahan dan tidak membutuhkan banyak waktu, kemudian model pakaiannya biasanya lebih variatif.

Setelah beberapa akun kami lihat dan tinjau, ketemulah kami dengan Toko Clothing bernama Qonnoq Moslemwear (@qonnoqmoslemwear), yang kami merasa cocok dengan salah satu varian baju yang ada di postingan akun itu. Pakaian-pakaian di akun ini juga banyak dimodeli oleh seorang selebgram yang bernama Irvan Farhad (@defarhad).

Selanjutnya kami sebagai calon pembeli memulai komunikasi via nomor Whatsapp yang tertera di profil akun @qonnoqmoslemwear. Chat dimulai, dan kemudian sampai pada satu tahapan bahwa baju yang kami inginkan masih tersedia / ready, sehingga kami akhirnya transfer sesuai jumlah harga baju + ongkos kirim. Transaksi ini kami lakukan pada hari Minggu, 26 Mei 2019. Admin Whatsapp (yang memang dari awal slow response) mengkonfirmasi siang hari keesokannya dan kami diminta untuk menunggu.

Lanjut, sorenya di hari yang sama, kami tanyakan apakah baju sudah dikirim. No response. Baiklah, kami berpikir positif, sepertinya sedang sibuk dan orderan sedang banyak mengingat hari Lebaran yang tinggal hitungan hari.

2 hari berselang, yakni tanggal 29 Mei 2019, kami gelisah karena tidak ada tanda-tanda dari Qonnoq Moslemwear bahwa barang sudah dikirim, sementara uang kami tertahan di mereka dan hari Lebaran semakin dekat. Hari itu kami coba chat kembali ke Admin Whatsapp dua kali siang dan malam, tetap tidak ada response.

Screenshot_20190529-200035458_1

Continue reading

Aku Suka.

Aku suka tinggal di Jakarta,
selama ada kamu.

Aku suka tinggal di Bogor,
selama ada kamu.

Aku suka tinggal di Tangerang,
selama ada kamu.

Aku suka tinggal di Cilegon,
selama ada kamu.

Aku suka tinggal dimana-mana,
selama ada kamu.

Jadi, kamu jangan jauh-jauh ya!

Mengurus Paspor di Kantor Imigrasi (Kanim) Tangerang via Pendaftaran Online

Hari ini saya baru saja mengurus perpanjangan paspor di Kantor Imigrasi Tangerang. Cukup lama juga waktu yang dihabiskan, mulai dari jam 08.00 sampai jam 14.30. Fyuh! Melelahkan memang, namun saya belajar banyak hal baru dari pengalaman saya membuat paspor hari ini.

Buat yang belum tahu, dan ingin mengurus / memperpanjang paspor di Tangerang, kantor imigrasi nya berlokasi di Jl. Taman Makam Pahlawan Taruna No.10. Jika berangkat dari daerang Serpong dan sekitarnya, bisa menggunakan angkutan umum 03 berwarna biru muda. Cukup 4rb rupiah untuk sekali jalan 🙂

Saya mau mencoba memberikan ulasan secara detail langkah-langkah proses pengurusan paspor ini beserta tips-tips yang mungkin dapat membantu kalian untuk mempermudah proses saat pengurusan paspor ini.

Pertama-tama saya ingin mengucapkan: Say no to ‘calo’! Anda pasti dan harus bisa mengurus ini secara pribadi.

Berikut tahapannya per tanggal 2 Januari 2014:

Continue reading

Mechanical = Mesin?

Semasa kuliah dulu di Bandung, pernah ada guyonan dari beberapa teman seangkatan mengenai terjemahan jurusan tercinta kami dulu. Dalam bahasa Inggrisnya, tentu sudah banyak yang mengenalnya dengan Mechanical Engineering”. Lalu, ketika di-alih-bahasa-kan menjadi bahasa Indonesia, artinya menjadi Teknik Mesin. Namun, apakah arti tersebut sudah sepadan menggambarkan bahasa asingnya? Mungkin iya, mungkin tidak 🙂

Kalau dilihat-lihat, sebetulnya arti “Mesin” itu sendiri jika di bahasa Inggris-kan umumnya kita temukan dengan kata “machine” atau “engine“. Tidak ada sepertinya kamus yang menterjemahkannya menjadi “mechanical“. Masih ada lho, orang-orang —semoga diberikan pencerahan— yang sering menganggap bahwa kuliah Sarjana di Teknik Mesin itu akrab dengan oli, mesin, dongkrak, dan peralatan montir atau bengkel lainnya.

Memang ada, di tempat kami itu tersedia sebuah organisasi sebagai suatu wadah penyaluran hobi anak-anak yang senang dengan dunia otomotif & kutak-katik mesin, yang disebut dengan ‘Bengkel’. Namun, itu juga kegiatan diluar belajar mengajar. Kami tetap baca buku teks dan mencatat penjelasan dosen kok. Hehehe…

Supaya lebih jelas, biasanya kegiatan perkuliahan di Teknik Mesin sudah mulai dikelompokkan saat tingkat 3 akhir. Mahasiswa memilih bidangnya masing-masing sesuai minatnya. Nah, pengelompokkannya dibagi menjadi 4 (empat) kelompok keahlian (KK). Empat KK tersebut terdiri dari KK Perancangan Mesin, KK Konversi Energi, KK Teknik Produksi Mesin, dan KK Ilmu dan Teknik Material (bersinggungan dengan jurusan Teknik Material). Saya rasa jumlahnya saat ini bertambah, belum lagi jika digabungkan dengan jurusan Teknik Penerbangan.

Nah, begitu.  Yaa, seharusnya sih yang tepat penterjemahan “Mechanical Engineering” itu menjadi “Teknik Mekanika” ya. Tapi, kok saya sendiri rasanya kurang sreg ya? Duh, jadi serba salah. Memang masalah pembiasaan saja.

*Disclaimer: Tidak ada maksud mendiskreditkan penterjemah maupun bahasa Indonesia. Tulisan ini hanyalah pikiran seseorang yang terlalu membuat hal kecil menjadi besar. Namun saya berharap *tetep* mudah-mudahan, ke depannya bisa dirubah menjadi Teknik Mekanika. Maju Teknik Mekanika (Mesin?) !

 

 

Fitness Gratis di IKPT

Sudah sebulan ini saya bekerja di Inti Karya Persada Teknik (IKPT) yang terletak di Jl. MT Haryono. Setelah beberapa bulan lowong kerjaan di PII, saya akhirnya di-“mutasi”-kan dari kantor lama saya yang berlokasi di bilangan Soepomo ke IKPT. Hal ini bisa jadi karena arah perusahaan saya ini−yang notabene perusahaan JV antara Petrofac dengan IKPT−masih belum jelas mau dibawa kemana. Setitik cahaya harapan pun sulit sekali untuk dilihat. Para pegawai yang bertahan, sebagian besar mungkin para pengharap angka sakti, angka 2N+1. Menunggu momen yang tepat agar bisa bersalaman dengan emas (golden shakehand) 🙂

Entah mau dibuat seperti apa kongsi ini oleh para pemangku kekuasaan dan stakeholders, saya sebagai “kroco mumet” (kalau boleh meminjam istilah teman saya) hanya bisa menunggu, menunggu dan menunggu sampai momen untuk ke arah yang lebih baik itu datang. Ah, sudahlah terlalu banyak pikiran tidak enak juga rasanya. Lebih enak memang mencari hal positif, apapun, dari kondisi yang kita jalani sekarang.

Naah, untuk hal positip-nya bisa jadi adalah saya bisa fitnesss gratis disini. Hehehe…

Enak juga ya fasilitas IKPT, bisa dibilang cukup lengkap. Mulai dari musholla (mesjid?) yang terletak di ground floor, lapangan serbaguna−yang biasa dijadikan arena futsal, bulutangkis, voli, basket, termasuk untuk acara gathering yang membutuhkan ruang yang luas, serta fasilitas fitness yang sudah saya manfaatkan akhir-akhir ini.

Yah, akhirnya saya bisa “keringetan” juga. Karena, jujur, sebelum kegiatan fitness ini, sudah lama banget saya ngga olahraga. Niat sih ada untuk olahraga, tapi mungkin kurang kuat kali ya. 😛

Nih, foto ruangan tempat kebugarannya.

IMG-20130701-00372

Alatnya cukup memadai untuk melatih fisik badan. Ada treadmill 3 buah, alat sit-up yang bisa berelevasi, lalu ada alat yang entah-apa-itu-namanya untuk melatih dada, kaki dan punggung. Tidak lupa ada compact radio yang selalu siap menemani di kala suasana sedang sepi. AC pun yang sempat mati, baru saja dibetulkan oleh bagian building service IKPT. Asyik…

Teori Spekulasi

Kutipan bacaan ini saya salin dari bukunya Bang Tere Liye yang berjudul Negeri Para Bedebah (yang kebetulan juga sudah saya review di Blog ini). Kutipan ini menceritakan tentang teori dalam berspekulasi. Menurut saya bacaan ini menarik, tetapi entahlah, apakah teori ini valid atau tidak saya masih belum tahu 🙂

So, here’s the story, let us begin with the “Background”..

•••

Usiaku menjelang empat belas tahun saat aku pertama kali mengunjungi Opa. Libur panjang sekolah, membawa ransel kecil di punggung, aku menumpang angkutan umum dari sekolah berasrama.

Malam terakhir di sana, aku dan Opa berdua menghabiskan waktu dengan duduk santai di beranda belakang, menonton televisi, acara kesayangan Opa. Acara kuis, tiga layar terpentang lebar menutupi hadiah. Satu peserta yang maju ke babak bonus menghadapi situasi “hidup-mati”, membawa pulang hadiah besar atau kembali dengan tangan hampa. Dialah finalis kuis.

“Satu di antara tiga layar ini adalah sebuah mobil  mewah terbaru.” Pembawa acara memasang wajah semringah, menunjuk layar televisi besar yang segera menayangkan bentuk dan rupa mobil itu.

Penonton di studio bertepuk tangan antusias. Wajah finalis kuis menyimpul senyum.

“Satu lagi adalah seekor sapi perah yang gemuk.” Pembawa acara tertawa. Penonton di studio ikut tertawa.

“Ayolah,” pembawa acara mengangkat bahu, “saya tidak bergurau. Sungguhan seekor sapi. Kami menyediakan truk besar untuk membawanya pulang nanti. Penonton di studio tertawa lagi, finalis kuis manggut-manggut tertawa pelan.

Aku ikut tertawa, meletakkan garpu ke atas piring—pembantu rumah Opa memasak menu lezat untuk menemani makan malam santai. Di sekolah berasrama jangankan menonton, televisi satu pun tidak ada di sana. Terlepas dari fakta itu, aku segera mengerti, pantas saja Opa suka menonton acara kuis, menarik. Lihat, Opa sudah terkekeh di sebelahku.

Pembawa acara mengangkat tangan, menyuruh penonton di studio diam sejenak. Musik latar terdengar lebih cepat. “Nah, sayangnya,  pemirsa di rumah dan hadirin di studio, satu layar lagi, tentu saja, menutupi sebuah kotak sampah.” Layar televisi besar segera menunjukkan kotak sampah berwarna kuning yang sering kalian lihat di trotoar jalan.

Penonton di studio tertawa—meski tidak sekencang soal sapi tadi. Finalis kuis tersenyum—meski senyumnya sekarang terlihat kecut.

“Baiklah, mari kita bermain. Anda pilih layar yang mana, Bung?” Satu, dua, atau tiga?” Amat bergaya pembawa acara menawarkan kesempatan pertama kepada finalis. Permainan babak terakhir telah dimulai.

Lima menit berlalu tegang. Finalis memilih layar satu.

“Anda yakin?”

Finalis kuis mengangguk.

“Baik. Kita kunci layar satu.” Hadirin di studio bertepuk tangan menyemangati.

“Kalau begitu, tolong dibuka layar nomor dua, layar yang tidak dia pilih,” pembawa acara memberi perintah. Layar dua segera tergulung ke atas.

Aku terpingkal bersama Opa, juga bersama penonton di studio—sampai melupakan wajah supertegang finalis yang merangkai doa. Di balik layar dua, sungguhan seekor sapi gemuk terlihat gelisah, moncongnya diikat rapat. Seorang peternak andal sejak tadi berdiri di sebelah sapi itu, mengelus-elus pundak si sapi, agar sapi itu diam dan tidak membuat pertanda ada seekor sapi di balik layar dua.

“Bukan main. Mari kita lupakan sapi perah barusan. Permainan ini semakin menarik.” Pembawa acaranya menghela napas.

“Tersisa dua layar, Bung. Satu adalah mobil mewah terbaru. Satu lagi kotak sampah berwarna kuning.” Pembawa acara mengangkat tangan, memberi tanda.

Penonton di studio kembali hening. Wajah finalis semakin tegang.

“Anda sudah memilih layar nomor satu. Apakah kita akan membuka layar nomor satu sekarang?”

Penonton berseru-seru antusias, mengangguk. Pembawa acara menggeleng takzim. “Kita buat acara ini lebih menarik.”

Penonton justru semakin berseru-seru antusias.

“Saya tidak tahu layar mana yang menyembunyikan mobil mewah itu. Percayalah. Hanya Tuhan dan beberapa orang di belakang studio yang tahu. Bahkan keputusan di mana mobil itu berada, baru dilakukan beberapa menit sebelum babak bonus. Nah, karena saya tidak tahu, semua orang di sini juga tidak tahu, saya akan memberi Anda kesempatan menukar pilihan. Tetap di layar nomor satu? Atau pindah ke layar nomor tiga?”

Aku menelan ludah, benar-benar melupakan makanan lezat di atas piring—padahal makan di sekolah asrama tidak pernah selezat ini. Mataku sempurna tertuju ke layar kaca.

“Tetap di layar satu atau pindah ke layar tiga?” Pembawa acara mendesak, mengulangi pertanyaan kesekian kali. Sudah dua menit berlalu tanpa keputusan.

“Pindah.” Terdengar jawaban mantap. Tetapi itu bukan jawaban finalis kuis. Itu suara Opa di sebelahku. Aku menoleh, menatap wajah Opa yang terlihat begitu yakin.

“Kalau kau dalam situasi seperti ini, kau akan pindah, Tommi,” Opa menjawab santai.

“Bagaimana Opa tahu?”

“Pindah saja. Insting.”

“Tapi Opa tidak tahu di mana mobilnya, bukan?”

“Karena itulah. Ketika tidak ada yang tahu, permainan berjalan adil dan sebagaimana mestinya, maka seorang penjudi ulung, seorang petaruh berpengalaman akan memilih pindah.”

“Kenapa?” aku mendesak.

Opa terkekeh. “Mana Opa tahu, Tommi. Itu hanya naluri, sekedar insting seorang petaruh.”

•••

And now, the main  part, where the theory is explained…

•••

Waktu itu umurku menjelang empat belas tahun. Aku tidak paham naluri dan insting yang dikatakan Opa—meski aku tahu sekali, sejak memutuskan mengarungi lautan, mengungsi dari tanah kelahirannya, Opa tumbuh menjadi pelaku bisnis yang hebat, petarung sejati.

Aku baru tahu penjelasan itu di sekolah bisnis.

Salah seorang guru besar, yang juga penjudi ulung di Texas—pekerjaan sampingan selain akademisi—memberikan kasus yang sama. Ada tiga kotak di depan kelas, di manakah yang berisi selembar tiket pesawat?

Professor itu menunjukku, memintaku bermain.

Aku menyeringai. Di bawah tatapan puluhan pasang mata peserta kuliah matematika bisnis tingkat lanjut yang antusias, aku sembarang menunjuk kotak. Hanya permainan memperebutkan tiket, bukan hidup-mati seperti peserta kuis sepuluh tahun lalu yang aku tonton bersama Opa.

Profesor mengangkat kotak lain yang tidak kupilih, kosong. Dia tertawa. “Nah, Thomas. sekarang tinggal dua kotak tersisa. Kau akan tetap memilih kotak sebelumnya, atau kau akan pindah?”

Ruangan kelas menjadi sedikit tegang.

Saat itulah, ilham pengetahuan masuk ke kepalaku. Opa benar sekali. Aku dengan santai bilang, “Pindah.”

Ruangan besar kelas kami dipenuhi seruan. Profesor mengedipkan mata, menyuruh mereka diam. “Kenapa kau memilih pindah, Thomas?”

Aku tertawa pelan, mengusap wajah. Entah bagaimana caranya, aku paham seketika teori berjudi Opa. Bukan karena naluri, melainkan karena setelah sepuluh tahun berlalu, belajar banyak hal, berada dalam kelas yang mengagumkan ini, penjelasan itu datang sendiri di kepalaku, sungguh bukan insting.

Penjelasannya amat sederhana. Ada tiga kotak, itu berarti kemungkinan kalian memenangkan pertaruhan adalah 33,3%, alias sepertiga. Itu kemungkinan yang rendah, bahkan di bawah 50%, permainan “ya” atau “tidak”. Ketika aku memilih salah satu kotak, lantas Profesor di depanku membuka kotak lain yang ternyata kosong, maka kemungkinanku sekarang adalah 50%, bukan? Apakah aku akan pindah? Ingat rumus ini: Jika kalian tetap di pilihan sebelumnya, variabel baru yang hadir dalam permainan tidak diperhitungkan. Jika kalian tetap di pilihan pertama, dengan dua kotak tersisa, kesempatan kalian untuk menang sesungguhnya bukan 50%, melainkan tetap 33,3%, karena kalian tetap memilih kotak yang sama dari tiga kotak sebelumnya.

Pindah! Lakukan segera, tutup mata. Denga demikian, kalian memasukkan variabel baru dalam permainan. Berapa kesempatan kalian menang? 50%? Tidak, kalian menjadikannya 66,6%. Ada tiga kotak dalam permainan, dan kalian diberi kesempatan memilih dua kali. Apakah kalian otomatis akan memenangkan permainan? Tentu tidak, masih ada 33,3% kemungkinan kalah. Tetapi kemungkinan 66,6% jauh lebih baik. Aku tidak akan seperti peserta kuis yang keukeuh sekali dengan pilihan awal, resisten sekali mengubah pilihan. Aku memilih pindah.

Ruangan kelas lengang sejenak setelah penjelasanku.

Profesor menatapku tajam. “Kau yakin, Thomas?”

Aku tersenyum simpul. Ini mata kuliah matematika bisnis tingkat lanjut. Aku sama sekali tidak berjudi, aku menggunakan logika. Tentu saja teori ini hanya berlaku jika lawan bermain kalian tidak curang. Kalau pembawa acara kuis tahu di mana mobil itu berada, dia bisa menipu peserta dengan membujuk-bujuk, memanipulasi kalimat-kalimatnya, hingga peserta terkecoh.

“Buka saja, Prof.” Aku tertawa.

♦♦♦

Kematian vs Kehidupan

Pada suatu hari Kematian dan Kehidupan bertemu satu sama lain, lantas mereka ngobrol:

Kematian : “Kenapa orang2 itu menyukai kamu, tapi mereka amat membenci aku?”

Kehidupan (menjawab sambil tersenyum) : “Orang-orang menyukaiku karena aku adalah ‘dusta yang indah’, sedangkan mereka membencimu karena kamu adalah ‘kebenaran yang menyakitkan’.”

Untuk renungan

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS 6:32)

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS 29:64)

“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau. Dan jika kamu beriman serta bertakwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta harta-hartamu.” (QS 47:36)

Review Buku : Negeri Para Bedebah dan Berjuta Rasanya

Beberapa minggu yang lalu, saya telah selesai menuntaskan dua bacaan dari buku-buku yang saya beli bulan lalu. Bacaan ini merupakan sebuah karya dari penulis yang memiliki nama pena Tere Liye. Saya yakin tentu sudah banyak yang mengenal penulis ini,  karena bang Tere merupakan penulis yang cukup produktif. Sejauh ini yang saya tahu sudah ada sekitar 12 buku yang sudah dia tulis. Gaya penulisan yang sederhana namun indah tertulis, serta mengena di hati kerap mewarnai karya-karyanya. Berangkat dari sinilah, dimulai dengan rasa penasaran, lalu muncul keinginan untuk membaca lembaran-lembaran tulisan bang Tere 🙂

Buku pertama yang ingin saya review adalah Negeri Para Bedebah

13515921331585352658

Membaca buku ini membuat saya menjadi orang yang tidak sabar. Saya tidak sabar untuk membuka lembaran buku berikutnya. Ceritanya begitu seru, cepat, penuh intrik dan aksi yang membuat para pembaca mungkin ikut terhanyut ke dalam suasana buku tersebut.

Buku ini berkisah mengenai petualangan seorang yang bernama Thomas. Thomas adalah konsultan keuangan profesional yang terkenal, lulusan dari sekolah bisnis luar negeri ternama. Di tengah pekerjaannya yang sangat padat, tiba-tiba dia dikejutkan dengan berita bahwa ada rencana untuk penutupan bisnis Bank Semesta yang dimiliki oleh pamannya, Om Liem.  Jika hal ini terjadi, tentunya Om Liem akan kewalahan untuk mengganti semua uang nasabah yang totalnya bisa mencapai trilyunan rupiah. Bank Semesta sudah didakwa bermasalah dan tinggal menunggu waktu untuk penangkapan Om Liem dan ditutupnya Bank Semesta.

Dari hal itulah Thomas berkeinginan untuk menyelamatkan Bank Semesta. Bukan karena faktor saudara yang menyebabkan Thomas bertindak seperti itu, Thomas sendiri di dalam buku tersebut diceritakan sudah membenci Om Liem semenjak terjadinya peristiwa  yang tidak dapat dia lupakan di umurnya yang ke enam. Semenjak itu dia tidak pernah menjalin komunikasi lagi dengan Om Liem sampai kasus ini terjadi. Faktor yang mendorongnya adalah Thomas merasa ada yang tidak beres dalam kasus ini. Thomas mencurigai bahwa kasus ini merupakan sebuah konspirasi oleh sebuah sekelompok orang dan sengaja direkayasa untuk membuat bisnis Om Liem kolaps. Thomas menduga-duga bahwa kasus ini ada kaitannya dengan peristiwa yang tak terlupakan tersebut yang terjadi saat umurnya masih enam tahun. Continue reading