Tulisan ini saya nukil dari buku Lapis-Lapis Keberkahan (hal. 67-69) yang dikarang oleh penulis muda berbakat Salim A. Fillah -Semoga Allah SWT selalu memudahkan engkau dalam menyiarkan dakwah dalam tulisan-. Semoga dapat menjadi pelajaran bagi kita semua.
•••
Adalah Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib, sering dirujuk atas uraian beliau yang gemilang tentang keutamaan ilmu atas harta. Mengarungi zaman, para ulama lain dari kalangan tabi’in hingga yang kekinian menambah dan meluaskan penjelasan beliau, Karamallahu Wajhah. Berikut ini kita nukil paparan Syaikh Muhammad Abu Zahrah, yang mengambil penjabaran Abul Hasan, Radhiyallahu ‘Anhu, pendapat para Tabi’in, Atba’ut Tabi’in, dan ‘Ulama Muta’akhkhirin kemudian meramunya menjadi satu.
“Ilmu lebih utama daripada harta,” demikian beliau Rahimahullah memulai uraiannya, “awal-awal sebab ia adalah warisan para rasul dan nabi-nabi. Sementara harta berupa emas, perak, dan permata, dilungsurkan Fir’aun, Qarun, dan raja-raja.”
“Yang kedua, ilmu lebih utama daripada harta,” kata beliau, “karena ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta bersusah payah memelihara kekayaannya.”
“Yang ketiga, ilmu lebih utama daripada harta,” ujar beliau, “sebab jika ilmu menguasai harta, akan menjadi mulialah kedua-duanya. Sebaliknya, jika harta menguasai ilmu, kan menjadi hinalah kedua-duanya.”
“Yang kedua, ilmu lebih utama daripada harta,” kata beliau, “karena ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta bersusah payah memlihara kekayaannya.”
“Yang ketiga, ilmu lebih utama daripada harta,” ujar beliau, “sebab jika ilmu menguasai harta, akan menjadi mulialah kedua-duanya. Sebaliknya, jika harta menguasai ilmu, kan menjadi hinalah kedua-duanya.”
“Yang keempat, ilmu lebih utama dibanding harta,” jelas beliau, “sebab kekayaan akan berkurang jika dibelanjakan, sedangkan pengetahuan bertambah jika dibagikan.”
“Yang kelima, ilmu lebih utama dibanding harta,” terang beliau, “karena ilmu setia menyertai pemiliknya menuju kematian, kebangkitan, dan akhiratnya. Adapun harta tak mau ikut dan tetap tinggal di dunia.”
“Yang keenam, ilmu lebih utama dibanding harta,” papar beliau, ” sebab pemilik ilmu terhormat dan diperlukan semua insan; dari rakyat jelata hingga para raja. Adapun harta hanya berguna dalam kebutuhan para faqir dan dhu’afa.”
“Yang ketujuh, ilmu lebih utama daripada harta,” tutur beliau, “sebab bagi pemilik harta, akan bermunculan musuh jahat dan kawan tak tulus. Adapun empunya ilmu, berarti memperbanyak saudara dan mengurangi seteru.”
“Yang kedelapan, ilmu lebih utama daripada harta,” tandas beliau, “sebab pemilik harta hanya digelari yang baik-baik jika mau memberi. Adapun ahli ilmu digelari yang baik-baik sejak belajar, terlebih ketika mengajar.”
“Yang kesembilan, ilmu lebih utama daripada harta,” ucap beliau, “sebab ketamakan pada ilmu memuliakan mereka yang masih bodoh maupun para cendekia. Sebaliknya, tamak terhadap harta menistakan yang masih miskin juga yang sudah kaya.”
“Yang kesepuluh, ilmu lebih utama dibanding harta,” tegas beliau, ” sebab di akhirat, pemilik harta akan rumit urusan dan berbelit hisabnya. Sedangkan pelajar dan pengajar ilmu akan mendapat kemudahan dan syafa’at Nabi-Nya.”
“Yang kesebelas, ilmu lebih utama dibanding harta,” sambung beliau, “sebab kemuliaan pemilik harta ada pada pernak-pernik kekayaan yang terletak di luar dirinya. Adapun keluhuran ahli ilmu adalah pengetahuan yang menyatu bersama sosoknya.”
“Yang kedua belas, ilmu lebih utama dibanding harta,” tambah beliau, “sebab semua ibadah dan ketaatan pada Allah, harus dilakukan dengan ilmu. Tapi banyak kemaksiatan keji dan mungkar, dapat dilakukan dengan harta.”
“Yang ketiga belas, ilmu lebih utama daripada harta,” lanjut beliau, ” karena agak sukar menemukan kemaksiatan yang ditujukan untuk memperoleh ilmu. Namun, bertabur banyaknya dosa-dosa yang ditujukan demi mendapat harta.”
“Yang keempat belas, ilmu lebih utama daripada harta,” terus beliau, “karena harta menyergapkan kesedihan sebelum mendapatkannya dan mencekamkan kekhawatiran setelah memperolehnya. Adapun ilmu adalah kegembiraan dan keamanan, kapan pun dan di mana pun berada.”
“Yang kelima belas, ilmu lebih utama daripada harta,” urai beliau, “sebab mencintai ilmu, baik bagi yang memilikinya maupun tidak, adalah mata air kebajikan. Adapun mencintai harta, baik di kala berpunya maupun papa, adalah sumber keburukan.”
“Yang keenam belas, ilmu lebih utama dibanding harta,” anjur beliau, “sebab Adam diciptakan, lalu dia dibekali ilmu, dan bukannya harta, yang membuatnya unggul di hadapan para malaikat dan menerima sujud penghormatan mereka.”
“Yang ketujuh belas, ilmu lebih utama dibanding harta,” beliau melanjutkan, “sebab Rabb kita menciptakan makhluq pertamanya berupa pena, menurunkan wahyu pertama pada Nabi-Nya dengan kalimat ‘baca’, dan menjadikan mu’jizat utama Rasulullah adalah kitab-Nya.”
“Yang kedelapan belas, ilmu lebih utama dibanding harta,” beliau meneruskan, “sebab harta hanya bisa mulia dan membawa ke surga jika dimakmumkan kepada ilmu. Adapun ilmu tak harus disertai harta untuk menjadikan pemiliknya begitu.”
“Yang kesembilan belas, ilmu lebih utama dibanding harta,” beliau menambahkan, “sebab orang berharta lagi berilmu yang berinfaq, pahalanya disamakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan orang berilmu miskin yang baru berniat untuk itu.”
“Yang kedua puluh, ilmu lebih utama dibanding harta,” beliau memungkasi pemeriannya, “sebab para pemilik harta mudah dijangkiti kesombongan hingga mengaku tuhan. Adapun para pemilik ilmu dikaruniai sifat takut kepada Allah dan rendah hati terhadap sesama insan.”